Pages

sejarah NU dan perkembangan NKRI

Minggu, 16 November 2014
Dalam perjalanan sejarah nasional yang sudah banyak dinikmati anak-anak sekolah dan dunia akademisi, pahlawan kemerdekaan dan pengusiran para penjajah hanya dilakukan oleh segelentir orang. Misalkan Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo, Achmad Yani, Supratman, dan Jenderal Sudirman. Bahkan riwayat pengakuan sebagai pahlawan kemerdekaan dalam mengusir penjajah dari Hindia Belanda ada yang nyaris dilupakan, misalkan Tan Malaka. Padahal Tan Malaka juga pejuang mengusir penjajah seangkatan dengan Soekarno dan pahlawan lainnya. Namun, namanya ditenggelamkan dari riwayat perjuangan para pahlawan nasional.
Begitu pula dengan pejuang yang hakikatnya lebih agresif dalam melawan penjajahan, yaitu pesantren dan tokoh-tokohnya yang mayoritas terdiri dari kiai dan rakyat biasa. Mereka seakan-akan mau dilupakan oleh catatan sejarah perjuangan dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Jika kita cermati secara saksama, peran pesantren dan tokoh-tokoh agama memiliki peran banyak dalam mengusir penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda. Misalkan KH Hasyim Asy’ari di Jombang. Namun, sejarah sudah tidak adil dan ditutupi oleh kepentingan elit politik.
Maka dari itu, inisiatif H Ahmad Zaini Hasan untuk membuka mata sejarah melalui buku ini perlu diacungi jempol. Melalui karyanya ini ia akan menguak dan menggali lagi sejarah pesantren serta tokoh-tokohnya dan rakyat jelata yang pernah mengusir penjajah demi kemerdekaan Hindia Belanda yang terkubur dari gerusan tanah elit politik. Pesantren dan para kiai yang berjuang melawan penjajahan adalah pahlawan yang jasa-jasa dan perjuangannya juga perlu dikenang dan diamalkan.
Ada banyak fakta sejarah yang menyatakan bahwa pesantren adalah musuh para kaum penjajah dan kaum elit negeri menjadi teman-temannya. Maka tak heran jika perjuangan mengusir kaum kolonial berangkat dari rakyat jelata dan pesantren dengan basis memberikan pendidikan kepada mereka yang tertindas. Misalkan pesantren Buntet di Cirebon melakukan berbagai daya dan upaya untuk mengusir kaum kolonial (hlm. 3).
Di Cirebon ini, berbagai aktivitas nasional berjalan. Cirebon sebagai sentra perdagangan dan penyebaran Islam oleh Sunan Gunung Jati pada masa dulu, bukan semata-mata kebetulan belaka. Namun, di sana ada potensi untuk gerakan kaum kolonial dalam menancapkan akar-akar kolonialisme dan imperialisme. Maka di sana lahirlah pesantren Buntet. Tokoh utama yang menjadi pejuang dari pesantren Buntet yaitu Kiai Abbas dan Kiai Muqayyim serta kiai-kiai lainnya yang memiliki pengetahuan luas dan ilmu supranatural yang sulit dilawan menggunakan senjata modern.
Kiai Abbas dari pesantren Buntet Cirebon bukan sembarang kiai, pada saat melawan tentara Inggris di Surabaya, KH Hasyim Asy’ari menunggu kedatangan Kiai Abbas dari Buntet sebelum memulai perlawanan. Kiai Abbas memiliki kekuatan laskar Hizbullah. Dari kekuatan laskar tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu organisasi yang terdiri dari anak-anak dan orang tua.
Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di Surabaya pada tahun 1945. Peristiwa itu terjadi setelah Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris.
Tetapi kiai Hasyim Asy’ari menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu, sebelum Kiai Abbas datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH Abbas beserta adiknya, KH Anas mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945 (hlm. 57).
Kehadiran karya ini untuk menunjukkan bahwa pesantren yang selalu identik dengan kalangan tertinggal bukan seperti yang sering kita dengar. Pesantren merupakan tempat pergerakan para pejuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia yang tertinggal dari sisi ekonomi, pendidikan, dan berbagai ilmu pengetahuan. Di mana ada pusat penjajah bercokol, tak jauh dari tempat itu pesantren akan berdiri dan para kiai yang menjadi penggerak untuk meluasnya penjajahan. Kita perlu membuka cakrawala pikir yang luas untuk membuka pintu sejarah pesantren di balik perannya dalam pengusiran kaum penjajah. Benih-benih perjuangan dari pesantren jangan sampai dikerdilkan hanya karena persoalan politik dan kepentingan pribadi yang mengatasnamakan agama dan bangsa Indonesia.
Buku ini mengisahkan perjuangan pesantren Buntet dan pergerakan-pergerakan nasional yang dilakukan oleh para kiai pesantren Buntet dan keturunan-keturunannya untuk merebut kemerdekaan bagi rakyat Indonesia dari kaum penjajah. Ada banyak peran oleh pesantren Buntet dan para tokohnya yang dipaparkan dalam buku ini. Mulai tentang Cirebon sebagai pusat gerakan, pesantren Buntet sebagai pedepokan para pendekar, dan perjuangan-perjuangannya yang dilakukan untuk mengusir kaum penjajah.
Sebenarnya Buntet ini hanya merupakan sebagai representasi perjuangan rakyat jelata dan pesantren untuk melawan penjajahan dari keseluruhan pesantren yang ada di Nusantara. Dengan kata lain, buku ini hanya fokus pada perjuangan dan pergerakan nasional dari pesantren Buntet di Jawa Barat dalam pengusiran kaum penjajah di Indonesia.
Data Buku
Judul : Perlawanan dari Tanah Pengasingan Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara
Penulis : H Ahmad Zaini Hasan
Penerbit : LKiS
Cetakan : I, 2014
Tebal : xxii + 174 halaman: 16 x 23,5 cm
ISBN : 602-14913-2-7
Peresensi : Junaidi Khab, Pecinta Baca Buku dan Tercatat Sebagai Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya
(Sumber: nu.or.id)
Read more ...

Sejarah & Kronologi 10 november ( Hari Pahlawan)

Minggu, 09 November 2014
Inilah Pasukan Perang di Surabaya 10 November 1945
SURABAYA- Pertempuran besar pada 10 November 1945 yang dikenal sebagai Hari Pahlawan bukan tanpa persiapan. Keluarnya resolusi jihad yang dicetuskan oleh Rais Akbar Hadaratusy Syaikh Hasyim Asy'ari juga dan kemudian memicu pertempuran besar di Surabaya itu ternyata dimotori oleh Pasukan Hizbullah dan Pasukan Sabililah.
Terbentuknya pasukan ini adalah berkat diplomasi dari Khatib Nahdatul Ulama (NU) KH Wahab Chasbullah kepada Pemerintah Jepang saat masih berkuasa di Indonesia.
Sejarawan NU Choirul Anam mengatakan, saat Jepang masih berperang melawan sekutu, di Indonesia Jepang banyak melatih penduduk-penduduk sipil untuk ikut dalam tentara PETA (Pembela Tanah Air). Tujuan pembentukan PETA oleh Jepang adalah untuk mempertahankan Jepang sebagai penguasa Asia Timur Raya.
Peta dibentuk pada 3 Oktober 1943. Saat itu Wahib Wahab, putra KH Wahab Chasbullah dan Kholiq Hasyim, putra KH Hasyim Asy'ari juga masuk sebagai anggota PETA.
"Di sinilah cerdiknya dua kiai ini. Mereka memasukkan dua putranya untuk ikut sebagai tentara PETA," kata Cak Anam kepada Okezone di Graha Amerta, Surabaya.
Dua Kiai ini membuat taktik bahwa ketika Pasukan PETA dikirim berperang untuk membela Asia Timur Raya, maka akan terjadi kekosongan pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan tentara cadangan yang tidak ikut berperang hanya berjaga di Indonesia. Hasil lobi Mbah Wahab (KH Wahab Chasbullah), agar para satri juga dikirim untuk ikut sebagai tentara cadangan.
Permintaan itupun dikabulkan oleh Kumakichi Harada yang saat itu menjabat sebagai panglima PETA. "Akhirnya para santri ini diberangkatkan ke Cibarusa, Bogor. Di sana ada masjid yang dulu sebagai kamp pelatihan para santri selama 6 bulan," kata mantan Ketua GP Ansor Jawa Timur ini.
Hingga akhirnya, pada Februari 1945, kata Cak Anam, terbentuklah pasukan Hizbulloh. Jepang memang tidak mengetahui arti dari tentara Hizbulloh. Saat itu ada 500 orang tentara Hizbulloh yang merupakan alumni dari pelatihan di Cibarusa, Bogor.
Dari jumlah tersebut diambil lulusan terbaik sebagai panglima yakni Zainul Arifin. Zainul Arifin memegang tampuk kepemimpinan tertinggi dalam tentara Hizabulloh.
"Mbah Wahab meminta kepada Jepang agar tentara cadangan ini tidak dikirim dalam perang Asia Timur Raya. Mereka harus berada di Indonesia. Dalam waktu yang cukup dekat, tentara Hizbulloh berkembang menjadi 500 ribu tentara yang strukturnya seluruh Indonesia," jelas Cak Anam.
Sayangnya, tidak banyak literatur yang menjelaskan, siapa sosok Zainul Arifin ini. Kata Cak Anam, sistem penjajahan Jepang memang berbeda dengan Belanda. Belanda lebih mengakomodir kaum bangsawan atau ningrat.
Sementara Jepang lebih mengakomodir kalangan kiai dan santri. Itulah alasannya kenapa diplomasi Mbah Wahab terkait pembentukan tentara cadangan disetujui oleh pihak Jepang.
Di bawah kepemimpinan Panglima Zainul Arifin melatih pasukan Sabililah. Pasukan inilah yang menarik masyarakat sipil untuk ikut berjuang untuk merebut kemerdeakaan Indonesia.
Pasukan Sabililah ini terpusat di Masjid Blimbing, Malang di bawah kepemimpinan KH Masykur. Baik Hizbullah maupun Sabilillah tetap dalam komando KH Wahab Chasbulloh.
Mbah wahab sendiri membentuk barisan MBO (Markas Besar Oelama). Barisan ini berpusat di kawasan Waru, Sidoarjo. Barisan ini terdiri dari kumpulan kiai-kiai ampuh yang memiliki kekuatan batin yang sangat kuat.
Ketika resolusi Jihad dicetuskan pada tanggal 22 Oktober, semua pasukan sudah siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Gerakan pasukan terlatih seperti Hizbulloh, Sabililah, dan MBO bergabung dengan gerakan masyarakat sipil yang digelorakan oleh Bung Tomo (Soetomo).
"Semua lini datang ke Surabaya. Saat itu, pasukan sekutu menggempur Surabaya dari berbagai penjuru. Pemicunya adalah tragedi penyobekan bendera Belanda di Hotel Oranje Surabaya," pungkasnya.
(ful)
Read more ...