POTENSI, PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA
Oleh : M. Munawar1)
1)Mahasiswa
Ilmu Tanaman Magister Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto,
Indonesia
Produk-produk pertanian modern yang menggunakan bahan kimia dan rekayasa
genetik telah menimbulkan kekawatiran sebagian besar masyarakat. Pola
konsumsi masyarakat tertentu mulai bergesar, banyak yang memilih makanan
yang dianggap aman dan lebih sehat yaitu yang alami, segar, bervariasi,
dan mudah disiapkan. Gerakan hidup kembali ke alami semakin banyak
diminati, mulai diinginkan makanan yang kurang gula, kurang garam, kurang
minyak/lemak/kolesterol, kurang residu pestisida dan antibiotik, kurang
hormon, kurang pupuk sintesis, bukan makanan yang diradiasi, dan bukan
Genetically Modified Organism (GMO).
Pertanian organik merupakan
salah satu metode produksi yang ramah lingkungan. Sistem produksi organik
mendasarkan pada standar yang tepat dan spesifik produksi yang bertujuan
mengembangkan agroekosistem secara sosial dan ekologis berkelanjutan.
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang meminimalkan penggunaan
input luar, menghindarkan penggunaan pupuk sintetis, pestisida sintetis (herbisida,
fungisida), mikroba sintetis, bahan aditif dan pengawet sintetis dan
irradiasi.
Pertanian
organik saat ini merupakan salah satu alternatif makanan yang sehat, sebab
dianggap tidak banyak mengandung hormon, obat-obatan, pestisida, dan pupuk
sintetis. Menurut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture
Movements), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem
pertanian organik antara lain : (1) Mendorong dan meningkatkan daur ulang
dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan
fauna, tanah, tanaman serta hewan, (2) Memberikan jaminan yang semakin baik
bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih
sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta
memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang
aman dan sehat, dan (3) Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara
berkelanjutan.
Salah
satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input)
secara khusus ditulis oleh Franklin H. King dalam bukunya Farmers of Forty
Centuries. King membandingkan penggunaan input minimal dan pendekatan
berkelanjutan pada pertanian daratan Timur (oriental) dengan apa yang dia
lihat sebagai kesalahan metoda yang digunakan petani Amerika. Gagasan King
adalah bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk
melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal.
Menurut database CES (Centre for Environment and Society)
di Universitas Essex, Inggris,
tentang pertanian berkelanjutan,
Indonesia telah memperkenalkan sistem pertanian yang mengarah pada sistem
pertanian yang ramah lingkungan dengan penerapan Pengendalian Hama Terpadu
sejak tahun 1986.
Sektor
pertanian merupakan sektor yang potensial dikembangkan untuk memulihkan
perekonomian dalam rangka otonomi daerah. Menurut data Bank Indonesia
(2001), di Jawa Tengah sektor usaha kecil di bidang pertanian merupakan
56,02% dari keseluruhan sektor usaha. Mengingat Kabupaten Banyumas memiliki
potensi lahan pertanian yang luas (132.759 ha)
dan produk-produk pertanian yang layak menuju pertanian organik, maka perlu
dikaji lebih lanjut tentang potensi dan peluang pengembangan untuk sistem
pertanian organik.
Pentingnya Keamanan dan Kesehatan Pangan
Pemanfaatan bioteknologi untuk meningkatkan produksi pertanian menimbulkan
kecemasan bagi sementara pihak tentang kesehatan, yang menyangkut
keselamatan umum, perlindungan lingkunga sampai resiko terhadap kesehatan
perorangan. Bioteknologi pertanian memberikan harapan terciptanya suatu
isitem pertanian yang berkelanjutan. Tetapi ada yang berpendapat bahwa
bioteknologi dapat mengakibatkan terciptanya gulma baru maupun hama dan
penyakit baru, memasukkan racun dalam makanan, merusak pendapatan petani,
mengganggu sistem pangan dunia, dan merusak keanekaragaman hayati.
Pentingnya lingkungan dalam sistem pertanian sering dikaitkan dengan
konservasi sumber daya alam dan sumber daya hayati. Kekawatiran dari
penerapan bioteknologi pertanian adalah potensi timbulnya organisme baru
yang dapat berkembang biak dengan tidak terkendali sehingga merusak
keseimbangan alam. Tanaman transgenik yang memiliki keunggulan sifat-sifat
tertentu dikhawatirkan menjadi “gulma super” yang berperilaku seperti gulma
dan tidak dapat dikendalikan. Selain menimbulkan dampak agroekosistem,
produk pangan transgenik dikhawatirkan membahayakan bagi kesehatan manusia.
Salah satu tanaman transgenik dapat menimbulkan alergi pada uji
laboratorium, yaitu kedelai transgenik yang mengandung methionine-rich
protein dari Brazil.
Ada
empat jenis resiko yang mungkin ditimbulkan oleh produk transgenik yaitu :
(1) Efek akibat gen asing yang diintroduksi ke dalam organisme transgenik,
(2) Efek yang tidak diharapkan dan tidak ditargetkan akibat penyisipan gen
secara random dan interaksi antara gen asing dan gen inang di dalam
organisme transgenik, (3) Efek yang dikaitkan dengan sifat konstruksi gen
artifisial yang disisipkan ke dalam organisme transgenik, dan (4) Efek dari
aliran gen, terutama penyebaran secara horizontal dan sekunder dari gen dan
konstruksi gen dari organisme transgenik ke spesies yang tidak berkerabat.
Resiko
di atas menimbulkan potensi bahaya bagi lingkungan dan manusia sebagai
berikut : (1) Pemindahan DNA transgenik secara horisontal ke mikroorganisme
tanah, yang dapat mempengaruhi ekologi tanah, (2) Kerusakan organisme tanah
akibat toksin dari transgenik yang bersifat pestisida, (3) Gangguan ekologis
akibat transfer transgen kepada kerabat liar tanaman, (4) Kerusakan pada
serangga yang menguntungkan akibat transgenik bersifat pestisida, (5)
Timbulnya virus baru, (6) Meningkatnya resistensi terhadap antibiotik,
termasuk dan terutama pada manusia yang memakan produk transgenik, dan (7)
Meningkatnya kecenderungan allergen, sifat toksik atau menurunnya nilai gizi
pada pangan transgenik.
Keamanan pangan merupakan jaminan bahwa suatu pangan tidak akan menyebabkan
bahaya bagi konsumen, apaila pangan tersebut disiapkan/dimasak dan atau
dikonsumsi sesuai dengan petunjuk dan penggunaan makanan tersebut. Untuk
produksi bahan pangan, jasad hidup yang digunakan haruslah jasad hidup
kelompok GRAS (Generally Recognizes as Safe), yaitu kelompok jasad
hidup yang dianggap aman digunakan sebagai sumber bahan pangan.
Dalam
rangka pengendalian pangan, parameter obyektif sangat diperlukan dalam
pembuatan keputusan. Hal itu adalah kebutuhan terhadap kualitas pangan dan
standard keamanan, pedoman dan rekomendasi. Perdagangan pada pangan organik
dan hasil pertumbuhan pada sektor ini dibatasi oleh ketidakadaan peraturan
yang harmonis diantara partner-partner dagang yang potensial. Pada tahun
1991, masyarakat Eropa mengadopsi peraturan tentang produksi organik hasil
pertanian. Pada tahun 1999, CODEX Alimentarius Commission (CAC) membuat
pedoman untuk produksi, pemrosesan, pelabelan dan pemasaran makanan-makanan
yang diproduksi secara organik. Peraturan-peraturan ini mengatur
prinsip-prinsip produksi organik di lahan, pada tahap persiapan,
penyimpanan, transportasi, pelabelan dan pemasaran. Hal ini tidak secara
langsung mencakup hewan ternak tetapi pada proses pengembangan peraturan
untuk produksi hewan ternak secara organik. Adopsi dari pedoman
internasional merupakan langkah yang penting dalam penyediaan pendekatan
yang terpadu untuk mengatur subsektor makanan organik dan fasilitas bagi
perdagangan makanan organik. Pemahanam umum tentang pengertian dari organik
seperti halnya yang ada pada pedoman internasional yang diketahui memberikan
ukuran yang penting terhadap gerakan pemberdayaan perlindungan konsumen
melawan praktek-praktek kecurangan.
Pertanian Organik Menjadi Pilihan
Pengertian pertanian organik awalnya berkembang dari konsep pertanian akrap
lingkungan yang di perkenalkan oleh Mokichi Okada pada tahun 1935, yang
kemudian dikanal dengan konsep Kyusei Nature Farming (KNF). Konsep
ini memiliki lima prinsip, yaitu : (1) Menghasilkan makanan yang aman dan
bergizi; (2) Menguntungkan baik secara ekonomi maupun spiritual; (3)
Mudah dipraktekkan dan mampu langgeng; (4) Menghormati alam dan
menjaga kelestarian lingkungan; dan (5) Menghasilkan makanan yang cukup
untuk manusia dengan populasi yang semakin meningkat.
Pertanian organik merupakan
metode pertanian yang tidak menggunakan pupuk sintetis dan pestisida.
Gambaran ini tidak menyebutkan esensi dari bentuk pertanian, tetapi
pengelolaan pertanian seperti pemupukan
tanah dan pengendalian masalah hama penyakit. Meskipun banyak teknik tunggal
yang digunakan pada pertanian organik digunakan dalam kisaran luas sistem
pengelolaan pertanian, yang membedakan pertanian organik adalah titik tekan
dari pengelolaannya. Pada sistem organik titik tekannya adalah pemeliharaan
dan pengembangan secara menyeluruh pada kesehatan
tanah-mikroba-tanaman-hewan (holistic approach) pada pertanian
individual, yang berpengaruh terhadap hasil saat ini dan di masa mendatang.
Penekanan pada pertanian organik adalah pada penggunaan input (termasuk
pengetahuan) dengan cara yang mendorong proses biologis dalam penyediaan
unsur hara tersedia dan ketahanan terhadap serangan organisme pengganggu
tanaman. Pengeloaan secara langsung diarahkan pada pencegahan masalah,
dengan menstimulasi proses-proses yang mendukung dalam penyediaan hara dan
pengendalian hama penyakit.
Department Pertanian Amerika
Serikat (1980), menegaskan konsep pertanian organik adalah sebagai berikut :
sistem produksi yang menghindari
penggunaan pupuk sintetis, pertisida, hormon pertumbuhan, dan bahan aditif
sintetik makanan ternak. Untuk hasil yang maksimum, sistem pertanian organik
mengandalkan rotasi tanaman, sisa-sisa tanaman, pupuk kandang, legume, pupuk
hijau, sampah-sampah organik, budidaya mekanis, batuan mineral, dan
aspek-aspek pengendalian hama penyakit biologis untuk memelihara
produktivitas tanah untuk menyediakan hara tanaman dan untuk mengendalikan
serangga, gulma dan organisme pengganggu tanaman lainnya.
Menurut CAC (1999), pertanian
organik adalah keseluruhan sistem pengelolaan produksi yang mendorong dan
mengembangkan kesehatan agroekosistem,
termasuk keragaman hayati, siklus biologis dan aktivitas biologis tanah. Hal
itu menekankan penggunaan praktek-praktek pengelolaan yang mengutamakan
penggunaan input off-farm yang memperhitungkan kondisi regional sistem yang
disesuaikan secara lokal. Hal ini merupakan penyempurnaan dengan menggunakan
jika memungkinkan agronomik, biologis, dan metode mekanis yang bertentangan
dengan penggunaan bahan-bahan sintetik untuk memenuhi fungsi-fungsi spesifik
dalam sistem.
Sistem
pertanian organik berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan
produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan
untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan.
Ada tiga kunci yang harus ada pada sistem pertanian organik, yaitu : (1)
merupakan suatu sistem pertanian menyeluruh; (2) membatasi bahan aatau input
noorganik; dan (3) menjaga kelestariaan dan kelangsungan agroekosistem.
Prinsip pertanian organik adalah bersahabat dan selaras dengan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar