Charlie Hebdo dan Kasus Zidane ( Cartoon Rosulullah)
Senin, 19 Januari 2015
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia » Nasional / pmii / 9 jam lalu
Oleh : Ahmad Miftahul Karomah
Penerbitan kartun Nabi Muhammad oleh majalah Prancis “Charlie Hebdo” berakibat panjang. 12 korban jiwa dan terdapat juga korban luka saat penyerangan kantor majalah itu sebagai aksi protes. Protes semakin meluas. Di Nigeria dilakukan dengan pembakaran gereja dan penjarahan, tidak luput juga adanya korban jiwa. Jika aksi protes dan saling menyalahkan terus berlanjut, bukan tidak mungkin terjadi kerusuhan yang lebih besar.
Tulisan ini bukan untuk membela pihak manapun. Aksi Kouachi bersaudara dan rekannya merupakan kriminal, harus diproses. Pembakaran tempat ibadah juga tidak dibenarkan dan sangat disayangkan.
Disisi lain, penerbitan karikatur Nabi Muhammad tidak dibenarkan, sangat disayangkan dan perlu dikecam. Apalagi itu dilakukan untuk kesekian kali dan telah diprotes sebelumnya. Majalah Charli Hebdo harus mempertanggungjawabkannya. Tapi, Sang Presiden asal negara majalah itu melakukan pembelaan, dalihnya kebebasan berekspresi.
Ini bukanlah kasus yang pertama. Tahun 2008, majalah yang sama pernah memuat kartun yang dianggap menghina Yahudi. Sang kartunis, diminta untuk meminta maaf, namun menolak. “lebih baik saya memotong testis saya sendiri,” komentar sang kartunis. Akhirnya sang kartunis, Maurice Sinet dipecat.
Pemimpin ummat Katolik, Paus Fransiskus turut memberikan komentar. Menurutnya, kebebasan berpendapat itu ada batasnya. “Anda tidak boleh memprovokasi. Anda tidak bisa menghina agama orang lain. Anda tidak bisa mengolok-olok agama lain. Ada batas,” kata Paus Kamis (15/1) lalu dalam perjalanannya ke Filipina.
Paus mencontohkan, “Jika kawan baik saya Doktor Gasparri (yang mengatur perjalanan Paus) menghina ibu saya, dia bisa kena tinju,” kata Paus, sambil memperagakan dirinya menonjok Doktor Gasparri, yang tengah berdiri di sampingnya.
Kasus penerbitan kartun oleh Charlie Hebdo, mengingatkan saya dengan peristiwa final Piala Dunia 2006. Saat itu Prancis Vs Italia. Dimenit ke-110, Bintang Prancis, Zinedine Zidane menanduk dada Marco Materazzi, back Italia. Hal itu membuat Zidane diganjar kartu merah dan akhirnya Prancis mengalami kekalahan. Kejadian tersebut menjadi akhir karirnya sebagai pemain di Timnas Ayam Jantan. Ia kemudian meminta maaf kepada publik akan tindakannya. Namun, ia memberikan alasan, itu dilakukan karena penghinaan yang beruntun dari Materazzi.
Tindakan Charlie Hebdo mirip dengan tindakan Materazzi, yang saat itu terus menghina Zidane, dan Zidane sangat tersinggung karena menyangkut ras. Sedangkan penyerangan kantor Charlie Hebdo sama dengan penandukan Materazzi oleh Zidane. Dimana saat itu, Zidane sudah tidak sanggup lagi menghadapi cacian Materazzi. Begitu juga Kouachi bersaudara dan rekannya, yang sudah tidak tahan lagi dengan cacian Charlie Hebdo.
Tindakan Zidane tidak bisa dibenarkan, karena tidak sportif saat permainan berlangsung. Ganjaran yang diterima juga sudah sesuai. Begitu juga dengan penyerang kantor majalah mingguan itu, yang tertembak mati dalam penyergapan aparat Prancis.
Namun tindakan Materazzi yang rasis juga saya yakin semua sepakat itu tidak bisa dibenarkan. Begitu juga dengan penerbitan kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo.
Charli Hebdo sebelumnya telah mendapatkan protes. Namun protes itu tidak diindahkan dan kembali menerbitkan. Malahan mencetak dalam jumlah yang lebih besar. Majalah tersebut menjadi laku keras, yang biasanya hanya terjual 60 ribu eks, dengan penerbitan kartun Nabi, edisi itu terjual hingga 7 juta eks.
Saya berpendapat, Charlie Hebdo memperhatikan sisi bisnis. Dengan penerbitan itu, mereka meraup untung beratus kali lipat dari biasanya. Mumpung donk, untung besar.
Seharusnya kebebasan berkespresi seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, ada batasnya, tidak menyakiti atau menghina. Apalagi menyakiti dan menghina keyakinan. Tentu ini sangat sensitif dan berbuntut panjang. Mengakibatkan banyak kemudharatan. Banyak korban jiwa dan kerusakan.
Terlebih yang dilakukan Charlie Hebdo, kebesasan berekspresi jadi kedok pembenaran untuk meraup untung. Namun tidak memperhatikan perasaan yang dialami pihak lain. Tidak berfikir berbagai kerugian, seperti kerusakan gereja, akbiat dari aksi protes. Tentu ini tidak akan terjadi kalau Charlie Hebdo mengindahkan protes pertama dulu, meminta maaf dan tidak memuat lagi kartun Nabi. Seperti yang terjadi pada tahun 2008, akhirnya memecat sang kartunis.
Kekhawatiran akan terjadinya perang antar pemeluk agama juga tidak mustahil jika tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan. Kebebasan berkespresi jangan sampai jadi alat permusuhan umat manusia, kebebasan berekspresi jangan sampai jadi penyebab peperangan antar pemeluk agama.
Semua agama mengajarkan kedamaian. Tokohnya juga demikian. Ummat beragama juga mendambakan kedamaian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar