LATAR BELAKANG PEMIMPIN.
Jumat, 23 Mei 2014
Latar Belakang PTNU 2014
Menjadi pemimpin
tidak mudah. Leb
ih sulit lagi menjadi pemimpin yang baik. Sayangnya, banyak
orang yang tidak menyadari bahwa mereka tidak layak menjadi seorang pemimpin.
Ambisi yang besar sering menjadi modal satu-satunya (Faturochman, 1992).
Ini merupakan
masalah yang terjadi dalam dinamika kepemimpinan kita saat ini. Dimana
orang-orang merasa bahwa mereka adalah seorang pemimpin dan mampu memimpin.
Pemimpin-pemimpin “karbit” kerap bermunculan ke panggung politik. Partai tidak
lagi menjadi proses pendidikan untuk menjadi pemimpin, partai hanya dijadikan
kendaraan politik semata dengan uang sebagai motor penggeraknya. Tidak jarang
juga kepopuleran menjadi indikator penting sebagai salah satu yang dipaksakan.
Faturochman
berpendapat bahwa pola kepemimpinan tidak banyak berubah. Namun tuntutan
masyarakat yang banyak berubah sejalan dengan perubahan zaman. Perkembangan
ilmu pengetahuan punya andil besar dalam hal ini. Karena dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan masyarakat seakan mengikuti
perubahan ini. Masyarakat merasa terpaksa untuk mengimbangi perubahan, terlebih
dalam negara-negara berkembang dimana masih banyak kehidupan masyarakatnya jauh
dari kesan modern yang dipenuhi dengan perangkat-perangkat teknologi canggih.
Hal ini dapat kita temui dalam masyarakat Indonesia, yang berada di suku-suku
pedalaman Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Papua. Sehingga masyarakat menjadi
bingung dengan pola kepemimpinan yang berkembang. Ditambah lagi dengan
bumbu-bumbu politik pencitraan yang menjadi landasan dalam bertindak. Sehingga
jika permasalahan muncul membutuhkan waktu yang sangat lama untuk segera
diantisipasi dan ditanggulangi. Hal-hal lain yang juga mulai berkembang yaitu
paradigma berpikir tentang seorang pemimpin. Kecenderungan yang terjadi dalam
pola kepemimpinan kita adalah menganggap dirinya sebagai “raja” yang harus
disembah dan dipuja-puja. Ketika para pemimpin datang berkunjung maka
blokade-blokade jalan dilakukan dengan dalih pengamanan yang bisa dianggap
terlalu berlebihan.
Selain itu,
tantangan terberat bagi seorang pemimpin, menurut Locke adalah menanamkan visi
yang sudah dikembangkan kepada anggota organisasi. Ini merupakan hal esensial
yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kepada anggota-anggotanya sehingga
segenap anggota dapat mengerti dan memahami visi yang menjadi tujuan organisasi
atau perusahaan yang mereka ikuti. Dengan mengetahui visi maka segenap tindakan
para anggota menuju ke arah tercapainya visi tersebut. Tidak hanya itu,
pemimpin mempunyai kewajiban lain yaitu menghidupkan dan memberi energi pada
visi agar dapat menjadi roh seluruh anggota organisasi.
Era Reformasi tahun
1998 telah melahirkan pergantian beberapa kali kepemimpinan nasional di
Indonesia. Mulai dari presiden Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati hingga kini
dibawah tampuk Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kemunculan pemimpin nasional di
era reformasi ini masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini dikarenakan
permasalahan kepemimpinan nasional yang terjadi di negeri ini belum menemukan
jawaban. Beberapa permasalahan tersebut antara lain;
1. Kurangnya
integitas sebagai pemimpin nasional. Pemimpin yang mempunyai integritas
memiliki kepribadian yang mantab, tidak tercela, jujur dan dihormati orang
lain. Pemimpin nasional ke depan dibutuhkan orang yang mempunyai integritas
tinggi, artinya tingkat hubungannya dengan yang dipimpin menyatu berdasarkan
pertimbangan “rasional transformatif” bukan “emosional transaksional”. Keadaan
ini akan melahirkan pemimpin yang mempunyai sifat perpaduan karakter manajer,
pemimpin dan negarawan (Manager, Leader, Statesman).Reformasi yang belum mantap
dan kondisi dalam negeri baik politik, ekonomi, sosbud dan hankam yang masih
lemah apabila tidak cepat membangun kepemimpinan yang kokoh maka negara kita
akan semakin larut dan terpuruk dalam persaingan global yang semakin ketat.
2. Kurang
dapat melepaskan diri dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini
dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan sesaat bagi dirinya dan orang
dekatnya, terutama yang dianggap berjasa seperti tim suksesnya. Reformasi
yang bergulir sampai saat ini melahirkan UU No 28 tahun 1999 tentang
penyelenggara negara yang bersih yang bebas Korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tetapi pada tataran empirik menunjukkan kasus korupsi juga terus semakin
meningkat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat negara seperti para
menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati dan sebagainya
menunjukkan bahwa pejabat negara yang seharusnya menjadi teladan bagi
masyarakat dalam tertib hukum dan tertib sosial justru malah menjadi terdakwa
dengan tuntutan tindak pidana korupsi.
3. Kurang
memahami moral dan etika kepemimpinan. Implementasi etka dan moral pemimpin
akan memberikan panduan bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Krisis yang melanda bangsa Indonesia tidak lepas dari kemerosotan
moral dan etika pemimpin. Kasus Bupati Garut, misalnya, yang menikah kilat
dengan cara kawin siri selama 4 hari dan melakukan perceraian dengan istrinya
melalui sms telah menuai kontroversi di masyarakat yang berujung pelengseran
sang Bupati.
4. Kurang
dapat memahami secara tepat esensi plural. Sebagai bangsa yang ultra plural
dengan postur negara kepulauan merupakan kewajiban dari pemimpin agar yang
dipimpin mendapat perlakuan yang sama. Tidak ada dominasi mayoritas terhadap
minoritas dan juga tidak mengenal adanya tirani minoritas. Pluralisme adalah
sikap keterbukaan sebagai suat kerangka interaksi dimana setiap kelompok
menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain , berinteraksi tanpa
konflik.
5. Lebih
mengedepankan kepentingan partainya daripada aspirasi rakyat. Kenyataan di
lapangan menunjukkan partai politik tidak bisa bebas bergerak , karena banyak
keentingan yang membatasi. Partai politik pendukung pemerintah sulit untuk
obyektif mengkritik kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Demikian juga
parpol di luar pemerintah terhambat dan terkooptasi oleh kepentingan
politiknya. Kasus bank Century dapat dijadikan contoh sulitnya mengedepankan kepentingan
rakyat daripada kepentingan partai.
Prinsip demokrasi dalam ketatanegaraan kita adalah
bagaimana partai politik menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas, karena
demokrasi akan berkualitas bila menghasilkan pemimpin yang berbobot. Masa depan
demokrasi di tanah air sangat ditentukan oleh kesanggupan demokrasi sebagai
incubator untuk menciptakan pemimpin nasional yang negarawan dan visioner. (DP)
Langganan:
Postingan (Atom)