Saya yakin hampir semua orang Indonesia pasti tidak akan setuju apabila saya mengatakan "Mau Kaya Jadilah Petani", tak ada yang salah dengan ketidaksetujuan tersebut kalau melihat fakta dan potret petani Indonesia yang hidupnya kian memprihatinkan. Profesi sebagai petani sama sekali bukan menjadi pilihan yang baik kalau melihat bagaimana keadaan petani-petani di Indonesia yang masih jauh dari kata sejahtera. Sangat berbeda apabila dibandingkan dengan beberapa negara maju seperti Jepang dan Amerika, petaninya hidup sejahtera dan sudah maju dengan penerapan teknologi yang pionir.
Sebenarnya kurang adil membandingkan antara pertanian di Indonesia dengan beberapa negara maju, karena meskipun negara kita terkenal sebagai negara agraris tapi sebagai negara berkembang banyak sekali hal yang menghambat jalannya menuju pertanian yang maju dengan menggunakan teknologi yang mumpuni. Saya masih ingat sekali sekitar dua tahun lalu mengikuti salah satu mata kuliah di mana dosen yang bersangkutan menampilkan slide yang merupakan hasil capture dari sebuah tabloid di Amerika "Mau Kaya Jadilah Petani", pada tabloid tersebut dijelaskan betapa menyenangkannya berprofesi sebagai petani di Amerika sehingga ajakan-ajakan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa.
Ini benar adanya kalau melihat pendapat salah seorang pemegang saham di bursa wall street Jim Rogers yang mengatakan, "Jika anda ingin kaya jadilah petani, dia berpendapat harga komoditas pangan dunia dalam beberapa waktu ke depan akan meningkat tajam mengalahkan bursa-busa keuangan global. Dunia sekarang ini dilanda krisis pangan, kita tidak membutuhkan lagi seorang bankir untuk mengoptimalisasi perdagangan, tetapi yang kita butuhkan adalah jumlah petani untuk mengatasi krisis."
Di beberapa negara maju, profesi petani memang sangat menjanjikan mengingat begitu besarnya perhatian pemerintah terhadap petaninya. Selain ditunjang dengan teknologi yang maju, para petani di beberapa negara maju kecil sekali kemungkinan mengalami kerugian. Bagaimana tidak pemerintah menjamin apabila terjadi gagal panen, hal ini seperti menjadi sebuah asuransi kegagalan dalam berusaha tani sehingga petaninya tak perlu khawatir dengan kerugian yang mungkin akan ditanggung apabila terjadi gagal panen karena sudah ada jaminan yang membuat mereka tetap aman.
Di beberapa negara maju semua kebutuhan petaninya memang difasilitasi sedemikian rupa, mulai dari kemudahan memperoleh informasi, pengadaan pupuk, benih unggul hingga pemasarannya pun lebih terakomodir sehingga dari hulu sampai ke hilir prosesnya berjalan dengan baik, selain itu inovasi dalam bidang pertanian juga berkembang dengan pesat.
Lantas bagaimana potret petani di Tanah Air? Rasanya tak perlu saya jelaskan, banyak di antara mereka yang hidup miskin dan jauh dari kata sejahtera. Banyak sekali faktor yang menyebabkan pertanian di Indonesia seperti jalan di tempat dan belum menunjukkan kepada perubahan yang lebih baik. Sektor pertanian sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar di negara ini namun tak menjamin kehidupan para petaninya juga baik.
Dari segi kepemilikan lahan, petani Indonesia memiliki lahan yang terbatas apabila dibandingkan dengan petani di beberapa negara maju, selain itu sebagian besar dari petani Indonesia tak mempunyai lahan hanya menjadi penggarap saja yang membuat keuntungan dalam berusaha tani akan terbagi dengan pemilik lahan. Kemudahan dalam memperoleh informasi seputar dunia pertanian yang belum didapat dengan baik membuat petani di Indonesia bekerja hanya berdasarkan pengalaman dan tak melihat perkembangan dan keadaan di lapangan. Peran penyuluh pertanian di lapangan juga masih kurang efektif mengingat jumlah mereka yang terbatas di mana seharusnya satu penyuluh satu desa tapi pada kenyataannya satu penyuluh memegang beberapa desa, pada intinya Indonesia masih kekurangan tenaga penyuluh pertanian.
Dari segi penerapan teknologi memang tak diragukan lagi kalau Indonesia tertinggal jauh dari beberapa negara maju, banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang masih dikerjakan secara tradisional yang banyak memakan waktu sehingga kurang efektif dan efisien. Pupuk dan benih unggul juga menjadi masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan, lihat saja bagaimana susahnya mencari pupuk bersubsidi di pasaran yang ternyata sudah masuk ke kantong-kantong para pejabat negeri ini, begitu juga dengan bibit unggul yang terkadang susah didapat meskipun ada itu pun harus dibeli dengan harga yang tak semestinya atau jauh di atas harga yang ditetapkan pemerintah.
Pemasaran pun juga menjadi sekelumit masalah pelengkap, bagaimana petani yang kurang berdaya melawan para tengkulak. Panjangnya rantai pemasaran juga ikut berpengaruh terhadap kualitas hasil pertanian, di mana kita tahu bahwa komoditas hasil pertanian yang tak bisa bertahan lama dan cepat busuk sehingga perlu penanganan khusus agar kualitasnya tetap terjaga hingga sampai di tangan konsumen. Alih fungsi lahan yang masif juga kian mempersempit areal pertanian sehingga kalau hal ini terus dibiarkan jangan harap Indonesia bisa berswasembada terutama untuk pangan. Profesi petani di negeri seperti bukan menjadi pilihan melainkan sebuah keterpaksaan karena sudah tidak ada lagi pilihan profesi lain.
Meskipun demikian sebenarnya masih banyak hal-hal yang patut kita syukuri di balik semua itu, seperti kita mempunyai tanah yang subur serta masih masih mudahnya menemui petani yang membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi atau kerbau yang menurut saya tak ditemui di negara-negara maju, ini seperti sebuah kearifan lokal yang patut dijaga dan dilestarikan. Pada akhirnya saya cuma berharap, semoga ke depannya pertanian di Indonesia akan menunjukkan kemajuan yang signifikan sehingga profesi sebagai petani di negara ini tak lagi dipandang sebelah mata melainkan suatu profesi yang patut dibanggakan dan banyak orang yang mau beralih profesi menjadi petani serta "Mau Kaya Jadilah Petani" bisa terwujud di negara ini.
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar