Pages

Black Campaign

Senin, 07 April 2014
"Keromantisanmu masih kalah dengan romantisme rayuan para caleg"
Mungkin kata-kata tersebut mampu mewakili apa yang terjadi pada masa kampanye kemarin. Kampanye yang digemakan oleh para elit parpol yang mencalonkan diri dalam bursa calon legislatif. Ribuan janji-janji manis dengan mudah terucap dari lidah yang memang sejatinya tak bertulang.  Berbagai senyum palsu menjadi tampilan baru di setiap sudut yang kini hanya menghasilkan sampah visual. Peperangan ideologi, figur hingga pencitraan pun saling sikut-menyikut ambil bagian. Alhasil politik Machiavelis pun dilakukan.
Tak terkecuali di lingkungan kampus. Yap... benar.. "lingkungan kampus". Lingkungan kampus yang seharusnya bersih dari hegemoni partai dan kampanye beserta embel-embelnya, nyatanya masih ada praktek-praktek terselubung, bergerak di bawah dan tidak terlihat. "Kampanye terselubung" itu pun bukan dilakukan oleh orang luar yang berasal dari elit partai. Namun siapa sangka, kampanye tersebut dilakukan oleh mahasiswa dalam kampus itu sendiri. 
Dalam UU No 8 Tahun 2012, pasal 86 telah jelas dan gamblang tertera larangan berkampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Kampus disini sebagai tempat pendidikan yang semestinya bebas dari praktik-praktik kotor kampanye, ternyata dinodai oleh mahasiswanya sendiri. Mahasiswa yang seharusnya memiliki pengetahuan yang lebih terhadap peraturan dan ideologi dibandingkan orang awam, dengan mudah mengadaikannya tanpa dasar yang jelas atau hanya sekedar ikut-ikutan. 
"Kampanye Terselubung" membidik mahasiswa-mahasiswa yang potensial untuk dihasut dan diindokterinasi. Entah mahasiswa biasa ataupun aktivis . Belum lagi tentang mahasiswa yang notabene adalah mahasiswa perantauan. Ini merupakan ladang yang subur untuk dijadikan lahan kampanye terselubung. Berangkat dengan alasan untuk menekan golput, para mahasiswa perantauan dimobilisasi untuk melakukan mutasi agar dapat menggunakan hak pilihnya. Setelah hal tersebut tercapai, praktik 'kampanye terselubung' pun dilakukan, baik itu melakukan pendekatan temu langsung(face to face), atau pun melalui media elektronik(sms, chat dll). Mahasiswa perantauan yang notabene minim akan informasi akan caleg dan parpol di daerah pilihan kampusnya berada, dapat dengan mudah terdokterinasi untuk memilih salah satu parpol ataupun  caleg  yang diusung oleh "kampanye terselubung".
Targetnya cuma satu, yakni menambah pundi-pundi suara parpol dalam gelaran akbar 9 April mendatang.
Read more ...

Memahami Revolusi Indonesia : Mitos dan Realitas

Senin, 07 April 2014


Bulan agustus adalah bulan revolusi. Tulisan kali ini mencoba memahami kembali arti dari Revolusi Indonesia yang terjadi di sejak bulan Agustus 1945 sampai tahun 1950.
Beberapa penulis sejarah tentang perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasional masih menyoalkan apakah bentuk perjuangan yang langsung menyusuli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu suatu revolusi atau suatu perang kemerdekaan?
Sartono Kartodirdjo misalnya, sebagai seorang guru besar sejarah pada Universitas Gajahmada Yogyakarta, di dalam majalah Prisma Agustus 1981 no. 8, halaman 3, dengan judul Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektifisme Struktural, antara lain mengatakan: “Akhir-akhir ini Sejarah Revolusi Indonesia sangat menarik perhatian umum terutama mengenai cara menginterpretasikannya. Nama yang dipakai, seperti Revolusi Kemerdekaan atau Perang Kemerdekaan, hanya dapat dipahami apabila dikembalikan kepada definisi serta teori revolusi yang digunakan. Timbulnya pelbagai gambaran sejarah tentang suatu gejala sejarah luar biasa seperti Revolusi adalah sangat wajar tidak lain karena interpretasi dari sudut penglihatan tertentu menyoroti aspek-aspek, dimensi-dimensi ataupun faktor-faktor tertentu pula. Ikatan zaman, ikatan situasi serta ikatan-ikatan lainnya, menentukan posisi penafsir sejarah dan karenanya juga sudut penglihatannya. Maka dari itu pada umumnya yang sangat menarik dari Sejarah Revolusi Indonesia bukan saja fakta-fakta tentang peristiwa-peristiwanya, melainkan bagaimana pandangan ataupun gambaran mengenai peristiwa-peristiwa itu. ………… Revolusi kita merupakan masa pergolakan (bahasa Jawa gegeran) yang ditandai oleh ,srobotan’, ‘gedoran’, ‘pendaulatan’, di samping sebagai masa perjuangan”.
Sartono Kartodirdjo tampak tidak membawakan diri pada pemantapan pengertian dasar mengenai revolusi dan penegasan tentang bentuk perjuangan rakyat Indonesia menyusuli Proklamasi Kemerdekaan sebagai revolusi atau Perang Kemerdekaan. Di dalam alam pikiran Sartono Kartodirdjo masih ada kejumbuhan pengertian antara revolusi dan perjuangan yang berkecamuk di dalam pergolakan. Dengan menyatakan bahwa Revolusi Indonesia merupakan masa pergolakan (bahasa Jawanya gegeran), persepsi Sartono Kartodirdjo menunjukkan kesingkatan waktu bagi berlakunya yang ia sebut revolusi itu.
Berbeda di dalam membawakan diri dengan Sartono Kartodirdjo adalah Anthony Reid, seorang sejarawan yang sudah meraih gelar Ph. D. dalam Sejarah Asia Tenggara di Cambridge University, Inggris. Dalam hubungannya dengan perjuangan rakyat Indonesia pada pasca awal proklamasi kemerdekaan, dengan judul Revolusi Sosial: Revolusi Nasional, bisa dikutip tulisannya di dalam majalah Prisma nomor sama, halaman 33, sebagai berikut: “Revolusi Indonesia telah diragukan dalam waktu lebih dari seperempat abad, terutama pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Di Indonesia, para ahli strategi dari kelompok militer yang berkuasa berusaha untuk menghindari istilah tersebut dan lebih menyukai ‘perang kemerdekaan’, karena mau memaksakan suatu format non-revolusioner, stabil kepada negara sambil tetap mengangkat peristiwa-peristiwa tahun 1945-50 sebagai sumber legitimasi. Angkatan Bersenjata di mana pun, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, masa yang sama menyaksikan kegairahan dengan keberhasilan nyata Vietnam dan Cina dalam memobilisasikan dan memberikan makan kepada penduduknya, sehingga banyak kaum aktivis, dan tidak sedikit jumlah sarjana, cenderung memberikan definisi baru kepada istilah ‘revolusi’ agar lebih cocok dengan mobilisasi kaum tani yang berhasil oleh sebuah partai Leninis. Kedua pihak membangun stereotip politik dari istilah ‘revolusi’, dan bisa sepakat bahwa Indonesia belum mengalaminya.
Konsep ‘revolusi’ adalah yang paling sentral di dalam seluruh analisa sejarah perbandingan. Pengertian apa pun yang diberikan oleh kaum politisi, para sejarawan harus mempertahankannya sebagai suatu alat analisa yang obyektif, yang sangat tidak tergantung pada apa pun yang disetujui atau tidak disetujui tentangnya. Revolusi adalah restrukturasi fundamental dari suatu sistem politik dengan kekerasan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Meskipun sangat banyak ragam revolusi yang dikenal dunia, pola tertentu dapat dilihat hampir dalam semuanya, bermula dengan tindakan membangkang, menghancurkan rezim lama, dan berakhir dengan memaksakan suatu jenis rezim baru yang relatif stabil-biasanya sesuatu yang sangat berbeda dari yang dapat dilihat oleh para revolusioner pada tahap pertama”.
Segi kebenaran yang terkandung di dalam keterangan Reid adalah bahwa Indonesia, bertolak dari proklamasi kemerdekaan 1945, memang belum pernah mengalami revolusi. Beda dengan bentuk perjuangan di Vietnam dan di Tiongkok yang saat berlakunya hampir bersamaan dengan Indonesia. Namun di Vietnam sesudah berhasilnya perang kemerdekaan dan di Tiongkok sesudah berhasilnya perang pembebasan, ada revolusi demokratis yang membongkar akar feodalisme. Walaupun karakter burjuis dari dua revolusi itu masih ada, Partai Pekerja Vietnam dan Partai Komunis Tiongkok memegang tampuk pimpinan. Bentuk perjuangan yang demikian tidak dialami di Indonesia.
Kritik Reid bahwa kelompok militer yang berkuasa di Indonesia menyukai penamaan ‘perang kemerdekaan’ untuk memaksakan suatu format non revolusioner, sebagai sikap yang oposan adalah positif. Kendati demikian, dilihat dari kenyataan yang ada, yang berlangsung di Indonesia tidak lain adalah memang suatu Perang Kemerdekaan, bukan suatu Revolusi. Hal ini tidak perlu dilebih-lebihkan.
Sepanjang pandangan Reid, revolusi adalah restrukturisasi fundamental dari suatu sistem politik dengan kekerasan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Khususnya jika hanya dibatasi dalam kerangka sistem politik, walaupun dengan kekerasan, dan di dalam keberlangsungan selama waktu yang singkat, pandangan Reid tidak tepat. Pandangan semacam itu bisa diartikan bahwa sebuah revolusi tidak merombak struktur masyarakat secara mendasar, meskipun melalui penggantian dari kolonialisme ke kemerdekaan politik, sedang keberlangsungannya dibatasi pada pergolakan yang berlaku di dalam waktu singkat. Padahal mengenai masalah waktu, sebuah revolusi yang menciptakan perubahan mendasar terhadap struktur masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh dua revolusi besar, yaitu Revolusi Burjuis Prancis dan Revolusi Sosialis Russia, dua-duanya memerlukan waktu persiapan dan penahapan yang berjangka waktu tidak pendek.
Pandangan tentang batas pengertian revolusi yang agak melengkapi pendapat Reid terdapat di antaranya di dalam tulisan Manuel Kaisiepo, salah seorang Anggota Dewan Redaksi Prisma. Di dalam majalah Prisma 9 September 1982 dengan judul Murba di Tengah Persaingan, halaman 74, ia berpendapat bahwa “Bila revolusi bisa dilihat sebagai suatu proses restrukturisasi suatu sistem sosial dan politik dalam suatu masyarakat secara fundamental dan dalam jangka waktu yang relatif singkat, maka perjuangan rakyat Indonesia mewujudkan kemerdekaannya dari penjajah mulai memasuki tahap-tahap yang benar-benar intens sehingga dapat disebut sebagai revolusi adalah pada periode sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan periode Konperensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949″.
Kaisiepo memandang revolusi tidak hanya mencakupi sistem politik saja, melainkan meliputi juga sistem sosial. Meskipun demikian, periode sejak proklamasi kemerdekaan 1945 sampai dengan periode KMB 1949 yang ditandai dengan adanya perjuangan bersenjata, bukanlah perombakan mendasar terhadap sistem sosial. Jadi bukan suatu revolusi. Jarak relatif pendek antara dua periode tersebut adalah masa perang kemerdekaan. Kemerdekaan yang dicapai bagi Indonesia saja tidak penuh dan hanya suatu kompromi di dalam wujud perjanjian KMB yang menempatkan ekonomi Indonesia masih banyak bergantung pada kekuatan modal monopoli asing.
Kutipan-kutipan mengenai pandangan beberapa penulis di atas tentang revolusi menunjukkan masih adanya batas pengertian yang tidak seragam, selain pada umumnya masih memancangkan diri pada berlakunya suatu revolusi di dalam waktu yang singkat. Ronald Ye-Lin Cheng yang mengumpulkan karangan banyak penulis mengenai Sosiologi Revolusi menjadi satu buku tersendiri, di dalam kata pengantar antaranya mengatakan, bahwa “….. setelah terjadinya suatu revolusi yang besar, seperti misalnya Revolusi Prancis 1789, selalu berkumandang adanya myte, legenda, dan peninggalan-peninggalan yang membikin berbauran atau kompleksnya pikiran orang. Misalnya Michelet menganggap bahwa Revolusi Prancis telah menghancurkan kejahatan kekuasaan politik lama, mengangkat massa terlepas dari kesengsaraan, dan mengantar masyarakat Prancis bagaimanapun juga menuju kemajuan, kebebasan, dan keadilan. (Jules Michelet, History of the French Revolution). Sebaliknya dari itu, Burke menganggap bahwa Revolusi Prancis merupakan peragaan daripada kejahatan, bahwa ia menjadi penyebab membeludaknya kekerasan dan kekejaman di pihak rakyat di dalam keadaan di luar batas; jika tidak teratasi, akhirnya rakyat akan menjadi murka di dalam wujud anarki atau kebengisan (Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France).”
Menurut Ye-Lin Cheng, pada dasarnya ada tiga kategori di dalam mendefinisikan revolusi: (1) revolusi adalah suatu perubahan politik yang membawakan pergantian akan kekuasaan politik setempat (misalnya dari sebuah monarki absolut menjadi kekuasaan politik rakyat); (2) revolusi adalah suatu perubahan sosial, mencakupi beberapa aspek dari fenomena sosial (agama, ekonomi, atau politik), yang terjadinya mendadak dan dengan kekerasan; (3) revolusi adalah suatu perubahan yang mendasar, meliputi semua aspek dari fenomena sosial (Dale Yoder, Current Definitions of Revolution).
Jika berbicara mengenai revolusi politik, oleh Ye-Lin Cheng ada dua bentuk klasifikasi yang disarankan. Yang pertama, revolusi-revolusi itu dibagi di dalam dua macam: (1) revolusi istana yang bersifat privat, (2) revolusi istana yang bersifat umum, (3) revolusi kolonial, (4) revolusi nasional yang besar, dan (5) revolusi yang sistematis. Metode klasifikasinya berdasar atas dua kriteria: kadar perubahan sosialnya tercakup, dan meliputi luas penduduk serta daerah geografisnya. (George Pettee, Revolution-Typology and Process). Misalnya, revolusi istana baik yang privat maupun yang umum pada pokoknya bertujuan untuk mengubah struktur dan personalia pemerintahan di dalam daerah geografis yang sangat terbatas; revolusi kolonial dan revolusi nasional yang besar bertujuan merubah seluruh lingkup lembaga-lembaga pemerintahan di seluruh negeri (misalnya dari monarki menjadi demokrasi). Dalam hal revolusi yang sistematis, pergantian dari sistem pemerintahan yang satu ke sistem pemerintahan yang lain, tujuannya adalah adanya perubahan-perubahan pemerintahan di dalam skala dunia yang luas (misalnya demokrasi menggantikan monarki sebagai sistem kekuasaan politik yang dominan di dunia). Namun, banyak orang di bidang ilmu sosial dan humaniora yang lebih suka menyebut perubahan-perubahan di dalam sistem pemerintahan sebagai pemberontakan. Maka dari itu, ada perbedaan antara “pemberontakan” (perubahan di dalam suatu sistem) dan ‘revolusi’ (perubahan terhadap sistemnya itu sendiri). Berdasarkan klasifikasi ini, revolusi-revolusi istana yang bersifat privat, revolusi-revolusi istana yang bersifat umum, dan sementara revolusi kolonial adalah ‘pemberontakan-pemberontakan’; adapun sementara revolusi kolonial, revolusi-revolusi nasional yang besar, serta revolusi-revolusi yang sistematis adalah “revolusi-revolusi”.
Metode klasifikasi lainnya berdasarkan pandangan Ye-Lin Cheng ada enam kategori: (1)Jacquerie, (2) pemberontakan milenarian, (3) pemberontakan anarkistis, (4) revolusi komunis Yakobin, (5) coup d’état konspiratorial, dan (6) pemberontakan massa yang berkarakter militer. Klasifikasi ini berdasar atas empat kriteria: target dari aksi revolusioner (pemerintahan, rezim, dan komunitas), identitas partisipan-partisipan revolusi (massa, elite-elite- pimpinan-massa, dan elite-elite), tujuan revolusi atau ideologi, dan apakah revolusi itu bersifat spontan atau diperhitungkan (Chalmers Johnson, Revolution and the Social System).
Lebih lanjut oleh Ye-Lin Cheng dijelaskan, bahwa istilah Jacquerie dipakai untuk mengkarakterisasikan pemberontakan massa kaum tani yang tujuannya sangat terbatas seperti merestorasi hak-hak yang hilang atau menghapuskan beban-beban penderitaan yang khusus. Pemberontakan milenarian tampil dari adanya harapan bahwa suatu perubahan yang menyeluruh dan radikal akan terjadi di dunia di dalam milenium. Pemberontakan anarkistis terjadi sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan yang sudah diciptakan di dalam sistem sosial. Revolusi komunis Yakobin adalah suatu gerakan untuk adanya perubahan fundamental dan tuntas di dalam sistem politik. Coup d’état konspiratorial adalah suatu usaha kelompok kecil rakyat untuk menggantikan penguasa yang ada. Pemberontakan massa yang berkarakter militer melibatkan massa yang dimobilisasi di bawah pimpinan konspiratorial dari komandan tertinggi militer di dalam usaha menggulingkan pemerintahan.
Sampai berapa ekstensif ukuran perubahan sosial itu, berdasarkan pandangan Huntington, perincian klasifikasinya adalah bahwa: jika target dari aksi revolusionernya komunitas, perubahan sosialnya paling ekstensif; jika targetnya sebuah rezim, perubahan sosialnya kurang ekstensif; dan jika yang menjadi target pemerintahan, perubahan sosialnya paling kurang ekstensif ketimbang semuanya tadi. Perbedaan antara revolusi-revolusi yang spontan dan yang diperhitungkan, perbandingan yang dipakai adalah klasifikasi revolusi-revolusi yang berbeda antara Timur dan Barat (Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society). Pandangan mendekati lengkap yang dikutip di dalam buku Ye-Lin Cheng adalah kesimpulan Hyndman, bahwa “Revolusi, dalam arti lengkapnya, merupakan suatu perubahan mendalam di bidang ekonomi, sosial, dan politik di dalam sebuah komunitas yang besar” (Henry M. Hyndman, The Evolution of Revolution, hlm.12).
Tulisan Onghokham dalam majalah prisma edisi ke-8 tahun 1985, mengurai tentang “revolusi indonesia : mitos dan realitas” menyatakan : “Revolusi Indonesia bertipe revolusi tanpa “text book” dan berjalan mengikuti perkembangan keadaan”.
Menurut Onghokham, dilihat dari tujuan revolusi, pada umumnya orang melihat ada dua katagori revolusi. Yang pertama adalah apa yang disebut dengan text book revolution, yaitu revolusi atas dasar buku teks, seperti kebanyakan revolusi Marxis, misalnya revolusi Rusia, Revolusi Cina, revolusi Vietnam dan revolusi Kampuchea (Pol-Pot cs, Khmer Merah). Mungkin dalam katagori revolusi ini bisa digolongkan revolusi-revolusi Agama seperti revolusi Iran. Tipe revolusi kedua adalah yang tanpa text book, akan tetapi yang berjalan menurut keadaan dan perkembangan. Revolusi Amerika, Perancis dan Indonesia dapat digolongkan dalam model kedua ini. Namun, ini tidak berarti bahwa ia berlangsung dan pecah tanpa ideologi. Setiap revolusi sangat penuh oleh beban, dengan ideologi dan prinsip-prinsip.
Revolusi Indonesia berakar pada ide dan konsep-konsep yang lahir pada zaman pergerakan nasional. Tanpa itu revolusi dan proklamasi kemerdekaan hanya akan bersifat gerakan Ratu Adil yang tradisional atau gerakan-gerakan perampokan seperti yang meletus pada bulan Maret 1942 ketika Belanda menyerah kepada Jepang, dan sang penjajah baru belum datang.
Indonesia bukan satu-satunya negara Asia yang memanfaatkan kesempatan yang diakibatkan Perang Dunia II ini. Di Burma, Vietnam dan Malaysia revolusi juga meletus dan gerakan kemerdekaan berjuang mengakhiri hubungan kolonial. Kemerdekaan India pun dipercepat oleh Perang Dunia II ini.
Setiap revolusi, termasuk revolusi di Indonesia, menimbulkan proses yang penting sekali, yaitu bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat dilibatkan secara total dalam politik. Secara mendadak rakyat secara total mengalami politisasi dalam kadar yang tinggi. Dan memang setiap revolusi menghendaki hal itu, yaitu keterlibatan total rakyat sebagai kekuatan utama.
Pertempuran terbesar dalam sejarah revolusi Indonesia yang melibatkan secara total rakyat diantaranya terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya. Menurut Anthony Reid, pertempuran itu menunjukan persatuan yang jarang tercapai antara kaum politisi nasionalis generasi tua dengan para pemuda-pejuang, antara pangreh-praja dan para “pemberontak” (istilah Bung Tomo), antara petani dan buruh, pemuda terpelajar dan yang tidak, dan golongan-golongan lainnya. Semua setuju untuk mempertahankan kota ini. Dengan fanatisme dan semangat juang “medeka atau mati”, pertempuran berlangsung selama tiga minggu. Dari sudut militer pertempuran ini liar dan tanpa startegi yang jelas, yang ada hanya fanatisme dan tahyul (kebal senjata) yang mendukungnya.
Sementara itu pertempuran Surabaya membuat Sekutu dan Belanda menyadari keterbatasannya. Belanda yang sebelumnya melancarkan protes keras terhadap semua diplomasi dengan republik, akhirnya didesak Inggeris untuk mau berunding. Perundingan dengan Belanda di dalam republik itu melahirkan polarisasi antara yang radikal menuntut 100% kemerdekaan dengan pemerintah yang manu berunding mengingat realita keadaan. Inilah yang menjadi sisi lain dari revolusi Indonesia dimana penyelesaiannya ada di meja perundingan sampai dengan KMB 1949.
Hal yang laing yang perlu dicatat, karena begitu pentingnya makna revolusi bagi eksistensi masyarakat bangsa dan negara Indonesia, maka jangan sampai revolusi itu dipergunakan oleh berbagai pihak untu mencari legitimasi atas kedudukan dan perannya di masa kini dan di masa depan, misalnya dengan mengklaim bahwa pihaknyalah yang paling berperan atau paling menentukan keberhasilan revolusi tersebut.
Revolusi Nasional 1945 adalah milik bangsa Indonesia. Diikuti dan disetujui oleh semua lapisan rakyat dan aliran politik yang ada ketika itu. Kita tidak dapat menghilangkan saham (andil) masing-masing ideologi dan partai yang turut-serta. Atau suatu aliran dapat menepuk dada mengakui andilnya lebih besar dari golongan/ aliran lain. Revolusi Nasional milik anak-bangsa, revolusi yang lahir dari kesadaran “bangsa terjajah” mengangkat derajat kehidupan bangsanya. Artinya, semangat-Revolusi 1945 kepunyaan bangsa.
SUMBER : http://serbasejarah.wordpress.com/2012/08/02/memahami-revolusi-indonesia-mitos-dan-realitas/
Referensi :
  • Revolusi Indonesia : Mitos dan Realitas, Onghokham, Majalah Prisma, Edisi 8 tahun 1985.
  • Spektrum Kemerdekaan Indonesia: Sebuah tinjauan selektif . Soegiri DS.
Read more ...
Selasa, 01 April 2014
Studi: Ini Ciri-ciri Wajah Pria Cerdas Hidung besar, bibir lancir, dagu bulat, dan mata jauh. Rizky Sekar Afrisia, Marlina Irdayanti Selasa, 1 April 2014, 10:22 WIB Dari kiri ke kanan, pria dengan wajah kurang cerdas sampai paling cerdas. (Plus One) Dari kiri ke kanan, pria dengan wajah kurang cerdas sampai paling cerdas. (Plus One) VIVAlife - Di mata wanita, bukan hanya wajah tampan yang bisa menawan hati. Pria dengan kepribadian menarik dan kecerdasan cemerlang, jauh lebih menyenangkan. Bahkan, sering itu menjadi penilaian lebih. Selain selalu nyambung saat diajak bicara, pria dengan karakter itu juga bisa membuat tertawa dengan humor-humor cerdasnya. Kelebihan lainnya, mereka biasanya merupakan pendengar yang baik. Wanita, tak perlu repot-repot mengajak berbincang jika ingin menemukan pria cerdas. Menurut ilmuwan, hanya dengan memandang wajah pria kini Anda bisa mengenali apakah ia cerdas atau tidak. Para peneliti dari Republik Ceko menemukan, kecerdasan pria dapat diukur melalui wajah mereka. Penelitian ditulis dalam jurnal PLoS One. Untuk membuktikannya para peneliti menggunakan foto wajah statis pada 40 pria dan 40 wanita. Mereka kemudian mengukur hubungan antara IQ, bentuk wajah, dan kecerdasan. Hasilnya menunjukkan, perseptor dapat mengukur kecerdasan pria secara akurat hanya dengan melihat foto mereka. Para peneliti mengklaim, pria cerdas digambarkan memiliki mata dengan jarak cukup jauh, hidung besar, sudut bibir sedikit lancip, dan dagu sedikit bulat. Sebaliknya, pria yang kurang cerdas memiliki bentuk wajah lebih bulat, mata hampir berdekatan, hidung pendek, sudut bibir sedikit ke bawah, serta dagu bulat dan besar. Secara khusus para peneliti menulis, ada dua faktor kecerdasan umum yang secara signifikan dapat diukur melalui wajah. Pertama, fluid Intelligence. Itu merupakan kecerdasan yang sudah ada sejak lahir atau kemampuan mereka dalam memecahkan masalah secara logis. Kedua, kecerdasan figural atau kemampuan menangani objek seperti gambar, pola, dan bentuk. Tapi, ciri kecerdasan itu tak bisa diberlakukan pada wanita. Sebab, mereka sering dinilai berdasarkan daya tarik yang lain. Para peneliti menyebutnya “efek halo”. “Efek halo, menjadi daya tarik kuat yang mungkin mencegah penilaian akurat dari kecerdasan wanita,” kata seorang peneliti, seperti dilansir Daily Mail. (eh)
Read more ...