Bulan agustus
adalah bulan revolusi. Tulisan kali ini mencoba memahami kembali arti
dari Revolusi Indonesia yang terjadi di sejak bulan Agustus 1945 sampai
tahun 1950.
Beberapa penulis sejarah tentang perjuangan rakyat Indonesia
untuk kemerdekaan nasional masih menyoalkan apakah bentuk perjuangan
yang langsung menyusuli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu suatu revolusi atau suatu perang kemerdekaan?
Sartono Kartodirdjo misalnya, sebagai
seorang guru besar sejarah pada Universitas Gajahmada Yogyakarta, di
dalam majalah Prisma Agustus 1981 no. 8, halaman 3, dengan judul Wajah
Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektifisme Struktural, antara lain
mengatakan: “Akhir-akhir ini Sejarah Revolusi Indonesia sangat menarik
perhatian umum terutama mengenai cara menginterpretasikannya. Nama yang
dipakai, seperti Revolusi Kemerdekaan atau Perang Kemerdekaan, hanya
dapat dipahami apabila dikembalikan kepada definisi serta teori revolusi
yang digunakan. Timbulnya pelbagai gambaran sejarah tentang suatu
gejala sejarah luar biasa
seperti Revolusi adalah sangat wajar tidak lain karena interpretasi dari
sudut penglihatan tertentu menyoroti aspek-aspek, dimensi-dimensi
ataupun faktor-faktor tertentu pula. Ikatan zaman, ikatan situasi serta
ikatan-ikatan lainnya, menentukan posisi penafsir sejarah dan karenanya
juga sudut penglihatannya. Maka dari itu pada umumnya yang sangat
menarik dari Sejarah Revolusi Indonesia bukan saja fakta-fakta tentang
peristiwa-peristiwanya, melainkan bagaimana pandangan ataupun gambaran
mengenai peristiwa-peristiwa itu. ………… Revolusi kita merupakan masa
pergolakan (bahasa Jawa gegeran) yang ditandai oleh ,srobotan’,
‘gedoran’, ‘pendaulatan’, di samping sebagai masa perjuangan”.
Sartono Kartodirdjo tampak tidak membawakan diri pada
pemantapan pengertian dasar mengenai revolusi dan penegasan tentang
bentuk perjuangan rakyat Indonesia menyusuli Proklamasi Kemerdekaan
sebagai revolusi atau Perang Kemerdekaan. Di dalam alam pikiran Sartono
Kartodirdjo masih ada kejumbuhan pengertian antara revolusi dan
perjuangan yang berkecamuk di dalam pergolakan. Dengan menyatakan bahwa
Revolusi Indonesia merupakan masa pergolakan (bahasa Jawanya gegeran),
persepsi Sartono Kartodirdjo menunjukkan kesingkatan waktu bagi
berlakunya yang ia sebut revolusi itu.
Berbeda di dalam membawakan diri dengan Sartono
Kartodirdjo adalah Anthony Reid, seorang sejarawan yang sudah meraih
gelar Ph. D. dalam Sejarah Asia Tenggara di Cambridge
University, Inggris. Dalam hubungannya dengan perjuangan rakyat
Indonesia pada pasca awal proklamasi kemerdekaan, dengan judul Revolusi
Sosial: Revolusi Nasional, bisa dikutip tulisannya di dalam majalah
Prisma nomor sama, halaman 33, sebagai berikut: “Revolusi Indonesia
telah diragukan dalam waktu lebih dari seperempat abad,
terutama pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Di Indonesia, para ahli
strategi dari kelompok militer yang berkuasa berusaha untuk menghindari
istilah tersebut dan lebih menyukai ‘perang kemerdekaan’, karena mau
memaksakan suatu format non-revolusioner, stabil kepada negara sambil
tetap mengangkat peristiwa-peristiwa tahun 1945-50 sebagai sumber
legitimasi. Angkatan Bersenjata di mana pun, terutama di Amerika Serikat
dan Eropa, masa yang sama menyaksikan kegairahan dengan keberhasilan
nyata Vietnam dan Cina dalam memobilisasikan dan memberikan makan kepada
penduduknya, sehingga banyak kaum aktivis, dan tidak sedikit jumlah
sarjana, cenderung memberikan definisi baru kepada istilah ‘revolusi’
agar lebih cocok dengan mobilisasi kaum tani yang berhasil oleh sebuah
partai Leninis. Kedua pihak membangun stereotip politik dari istilah
‘revolusi’, dan bisa sepakat bahwa Indonesia belum mengalaminya.
Konsep ‘revolusi’ adalah yang paling sentral di dalam
seluruh analisa sejarah perbandingan. Pengertian apa pun yang diberikan
oleh kaum politisi, para sejarawan harus mempertahankannya sebagai
suatu alat analisa yang obyektif, yang sangat tidak tergantung pada apa
pun yang disetujui atau tidak disetujui tentangnya. Revolusi adalah
restrukturasi fundamental dari suatu sistem politik dengan kekerasan
dalam jangka waktu yang relatif singkat. Meskipun sangat banyak ragam
revolusi yang dikenal dunia, pola tertentu dapat dilihat hampir dalam
semuanya, bermula dengan tindakan membangkang, menghancurkan rezim lama,
dan berakhir dengan memaksakan suatu jenis rezim baru yang relatif
stabil-biasanya sesuatu yang sangat berbeda dari yang dapat dilihat oleh
para revolusioner pada tahap pertama”.
Segi kebenaran yang terkandung di dalam keterangan
Reid adalah bahwa Indonesia, bertolak dari proklamasi kemerdekaan 1945,
memang belum pernah mengalami revolusi. Beda dengan bentuk perjuangan di
Vietnam dan di Tiongkok
yang saat berlakunya hampir bersamaan dengan Indonesia. Namun di Vietnam
sesudah berhasilnya perang kemerdekaan dan di Tiongkok sesudah
berhasilnya perang pembebasan, ada revolusi demokratis yang membongkar
akar feodalisme. Walaupun karakter burjuis dari dua revolusi itu masih
ada, Partai Pekerja Vietnam dan Partai Komunis Tiongkok memegang tampuk
pimpinan. Bentuk perjuangan yang demikian tidak dialami di Indonesia.
Kritik Reid bahwa kelompok militer yang berkuasa di
Indonesia menyukai penamaan ‘perang kemerdekaan’ untuk memaksakan suatu
format non revolusioner, sebagai sikap yang oposan adalah positif.
Kendati demikian, dilihat dari kenyataan yang ada, yang berlangsung di
Indonesia tidak lain adalah memang suatu Perang Kemerdekaan, bukan suatu
Revolusi. Hal ini tidak perlu dilebih-lebihkan.
Sepanjang pandangan Reid, revolusi adalah
restrukturisasi fundamental dari suatu sistem politik dengan kekerasan
dalam jangka waktu yang relatif singkat. Khususnya jika hanya dibatasi
dalam kerangka sistem politik, walaupun dengan kekerasan, dan di dalam
keberlangsungan selama waktu yang singkat, pandangan Reid tidak tepat.
Pandangan semacam itu bisa diartikan bahwa sebuah revolusi tidak
merombak struktur masyarakat secara mendasar, meskipun melalui
penggantian dari kolonialisme ke kemerdekaan politik, sedang
keberlangsungannya dibatasi pada pergolakan yang berlaku di dalam waktu
singkat. Padahal mengenai masalah waktu, sebuah revolusi yang
menciptakan perubahan mendasar terhadap struktur masyarakat, seperti
yang ditunjukkan oleh dua revolusi besar, yaitu Revolusi Burjuis Prancis
dan Revolusi Sosialis Russia, dua-duanya memerlukan waktu persiapan dan
penahapan yang berjangka waktu tidak pendek.
Pandangan tentang batas pengertian revolusi yang agak
melengkapi pendapat Reid terdapat di antaranya di dalam tulisan Manuel
Kaisiepo, salah seorang Anggota Dewan Redaksi Prisma. Di dalam majalah
Prisma 9 September 1982 dengan judul Murba di Tengah Persaingan, halaman
74, ia berpendapat bahwa “Bila revolusi bisa dilihat sebagai suatu
proses restrukturisasi suatu sistem sosial dan politik dalam suatu
masyarakat secara fundamental dan dalam jangka waktu yang relatif
singkat, maka perjuangan rakyat Indonesia mewujudkan kemerdekaannya dari
penjajah mulai memasuki tahap-tahap yang benar-benar intens sehingga
dapat disebut sebagai revolusi adalah pada periode sejak proklamasi
kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan periode Konperensi Meja Bundar
(KMB) tahun 1949″.
Kaisiepo
memandang revolusi tidak hanya mencakupi sistem politik saja, melainkan
meliputi juga sistem sosial. Meskipun demikian, periode sejak
proklamasi kemerdekaan 1945 sampai dengan periode KMB 1949 yang ditandai
dengan adanya perjuangan bersenjata, bukanlah perombakan mendasar
terhadap sistem sosial. Jadi bukan suatu revolusi. Jarak relatif pendek
antara dua periode tersebut adalah masa perang kemerdekaan. Kemerdekaan
yang dicapai bagi Indonesia saja tidak penuh dan hanya suatu kompromi di
dalam wujud perjanjian KMB yang menempatkan ekonomi Indonesia masih
banyak bergantung pada kekuatan modal monopoli asing.
Kutipan-kutipan mengenai pandangan beberapa penulis
di atas tentang revolusi menunjukkan masih adanya batas pengertian yang
tidak seragam, selain pada umumnya masih memancangkan diri pada
berlakunya suatu revolusi di dalam waktu yang singkat. Ronald Ye-Lin
Cheng yang mengumpulkan karangan banyak penulis mengenai Sosiologi
Revolusi menjadi satu buku tersendiri, di dalam kata pengantar antaranya
mengatakan, bahwa “….. setelah terjadinya suatu revolusi yang besar,
seperti misalnya Revolusi Prancis 1789, selalu berkumandang adanya myte,
legenda, dan peninggalan-peninggalan yang membikin berbauran atau
kompleksnya pikiran orang. Misalnya Michelet menganggap bahwa Revolusi
Prancis telah menghancurkan kejahatan kekuasaan politik lama, mengangkat
massa terlepas dari kesengsaraan, dan mengantar masyarakat Prancis
bagaimanapun juga menuju kemajuan, kebebasan, dan keadilan. (Jules
Michelet, History of the French Revolution). Sebaliknya dari
itu, Burke menganggap bahwa Revolusi Prancis merupakan peragaan daripada
kejahatan, bahwa ia menjadi penyebab membeludaknya kekerasan dan
kekejaman di pihak rakyat di dalam keadaan di luar batas; jika tidak
teratasi, akhirnya rakyat akan menjadi murka di dalam wujud anarki atau
kebengisan (Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France).”
Menurut Ye-Lin Cheng, pada dasarnya ada tiga kategori
di dalam mendefinisikan revolusi: (1) revolusi adalah suatu perubahan
politik yang membawakan pergantian akan kekuasaan politik setempat
(misalnya dari sebuah monarki absolut menjadi kekuasaan politik rakyat);
(2) revolusi adalah suatu perubahan sosial, mencakupi beberapa aspek
dari fenomena sosial (agama, ekonomi, atau politik), yang terjadinya
mendadak dan dengan kekerasan; (3) revolusi adalah suatu perubahan yang
mendasar, meliputi semua aspek dari fenomena sosial (Dale Yoder, Current Definitions of Revolution).
Jika berbicara mengenai revolusi politik, oleh Ye-Lin
Cheng ada dua bentuk klasifikasi yang disarankan. Yang pertama,
revolusi-revolusi itu dibagi di dalam dua macam: (1) revolusi istana
yang bersifat privat, (2) revolusi istana yang bersifat umum, (3)
revolusi kolonial, (4) revolusi nasional yang besar, dan (5) revolusi
yang sistematis. Metode klasifikasinya berdasar atas dua kriteria: kadar
perubahan sosialnya tercakup, dan meliputi luas penduduk serta daerah
geografisnya. (George Pettee, Revolution-Typology and Process).
Misalnya, revolusi istana baik yang privat maupun yang umum pada
pokoknya bertujuan untuk mengubah struktur dan personalia pemerintahan
di dalam daerah geografis yang sangat terbatas; revolusi kolonial dan
revolusi nasional yang besar bertujuan merubah seluruh lingkup
lembaga-lembaga pemerintahan di seluruh negeri (misalnya dari monarki
menjadi demokrasi). Dalam hal revolusi yang sistematis, pergantian dari
sistem pemerintahan yang satu ke sistem pemerintahan yang lain,
tujuannya adalah adanya perubahan-perubahan pemerintahan di dalam skala
dunia yang luas (misalnya demokrasi menggantikan monarki sebagai sistem
kekuasaan politik yang dominan di dunia). Namun, banyak orang di bidang
ilmu sosial dan humaniora yang lebih suka menyebut perubahan-perubahan
di dalam sistem pemerintahan sebagai pemberontakan. Maka dari itu, ada
perbedaan antara “pemberontakan” (perubahan di dalam suatu sistem) dan
‘revolusi’ (perubahan terhadap sistemnya itu sendiri). Berdasarkan
klasifikasi ini, revolusi-revolusi istana yang bersifat privat,
revolusi-revolusi istana yang bersifat umum, dan sementara revolusi
kolonial adalah ‘pemberontakan-pemberontakan’; adapun sementara revolusi
kolonial, revolusi-revolusi nasional yang besar, serta
revolusi-revolusi yang sistematis adalah “revolusi-revolusi”.
Metode klasifikasi lainnya berdasarkan pandangan
Ye-Lin Cheng ada enam kategori: (1)Jacquerie, (2) pemberontakan
milenarian, (3) pemberontakan anarkistis, (4) revolusi komunis Yakobin,
(5) coup d’état konspiratorial, dan (6) pemberontakan massa
yang berkarakter militer. Klasifikasi ini berdasar atas empat kriteria:
target dari aksi revolusioner (pemerintahan, rezim, dan komunitas),
identitas partisipan-partisipan revolusi (massa, elite-elite-
pimpinan-massa, dan elite-elite), tujuan revolusi atau ideologi, dan
apakah revolusi itu bersifat spontan atau diperhitungkan (Chalmers
Johnson, Revolution and the Social System).
Lebih lanjut oleh Ye-Lin Cheng dijelaskan, bahwa
istilah Jacquerie dipakai untuk mengkarakterisasikan pemberontakan massa
kaum tani yang tujuannya sangat terbatas seperti merestorasi hak-hak
yang hilang atau menghapuskan beban-beban penderitaan yang khusus.
Pemberontakan milenarian tampil dari adanya harapan bahwa suatu
perubahan yang menyeluruh dan radikal akan terjadi di dunia di dalam
milenium. Pemberontakan anarkistis terjadi sebagai reaksi terhadap
perubahan-perubahan yang sudah diciptakan di dalam sistem sosial.
Revolusi komunis Yakobin adalah suatu gerakan untuk adanya perubahan
fundamental dan tuntas di dalam sistem politik. Coup d’état
konspiratorial adalah suatu usaha kelompok kecil rakyat untuk
menggantikan penguasa yang ada. Pemberontakan massa yang berkarakter
militer melibatkan massa yang dimobilisasi di bawah pimpinan
konspiratorial dari komandan tertinggi militer di dalam usaha
menggulingkan pemerintahan.
Sampai berapa ekstensif ukuran perubahan sosial itu,
berdasarkan pandangan Huntington, perincian klasifikasinya adalah bahwa:
jika target dari aksi revolusionernya komunitas, perubahan sosialnya
paling ekstensif; jika targetnya sebuah rezim, perubahan sosialnya
kurang ekstensif; dan jika yang menjadi target pemerintahan, perubahan
sosialnya paling kurang ekstensif ketimbang semuanya tadi. Perbedaan
antara revolusi-revolusi yang spontan dan yang diperhitungkan,
perbandingan yang dipakai adalah klasifikasi revolusi-revolusi yang
berbeda antara Timur dan Barat (Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society).
Pandangan mendekati lengkap yang dikutip di dalam buku Ye-Lin Cheng
adalah kesimpulan Hyndman, bahwa “Revolusi, dalam arti lengkapnya,
merupakan suatu perubahan mendalam di bidang ekonomi, sosial, dan
politik di dalam sebuah komunitas yang besar” (Henry M. Hyndman, The Evolution of Revolution, hlm.12).
Tulisan Onghokham dalam majalah prisma
edisi ke-8 tahun 1985, mengurai tentang “revolusi indonesia : mitos dan
realitas” menyatakan : “Revolusi Indonesia bertipe revolusi tanpa “text
book” dan berjalan mengikuti perkembangan keadaan”.
Menurut Onghokham, dilihat dari tujuan
revolusi, pada umumnya orang melihat ada dua katagori revolusi. Yang
pertama adalah apa yang disebut dengan text book revolution, yaitu
revolusi atas dasar buku teks, seperti kebanyakan revolusi Marxis,
misalnya revolusi Rusia, Revolusi Cina, revolusi Vietnam dan revolusi
Kampuchea (Pol-Pot cs, Khmer Merah). Mungkin dalam katagori revolusi ini
bisa digolongkan revolusi-revolusi Agama seperti revolusi Iran. Tipe
revolusi kedua adalah yang tanpa text book, akan tetapi yang berjalan menurut keadaan dan perkembangan. Revolusi Amerika,
Perancis dan Indonesia dapat digolongkan dalam model kedua ini. Namun,
ini tidak berarti bahwa ia berlangsung dan pecah tanpa ideologi. Setiap
revolusi sangat penuh oleh beban, dengan ideologi dan prinsip-prinsip.
Revolusi Indonesia berakar pada ide dan
konsep-konsep yang lahir pada zaman pergerakan nasional. Tanpa itu
revolusi dan proklamasi kemerdekaan hanya akan bersifat gerakan Ratu
Adil yang tradisional atau gerakan-gerakan perampokan seperti yang
meletus pada bulan Maret 1942 ketika Belanda menyerah kepada Jepang, dan
sang penjajah baru belum datang.
Indonesia bukan satu-satunya negara Asia
yang memanfaatkan kesempatan yang diakibatkan Perang Dunia II ini. Di
Burma, Vietnam dan Malaysia revolusi juga meletus dan gerakan
kemerdekaan berjuang mengakhiri hubungan kolonial. Kemerdekaan India pun
dipercepat oleh Perang Dunia II ini.
Setiap
revolusi, termasuk revolusi di Indonesia, menimbulkan proses yang
penting sekali, yaitu bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, rakyat
dilibatkan secara total dalam politik. Secara mendadak rakyat secara
total mengalami politisasi dalam kadar yang tinggi. Dan memang setiap
revolusi menghendaki hal itu, yaitu keterlibatan total rakyat sebagai
kekuatan utama.
Pertempuran terbesar dalam sejarah
revolusi Indonesia yang melibatkan secara total rakyat diantaranya
terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya. Menurut Anthony Reid,
pertempuran itu menunjukan persatuan yang jarang tercapai antara kaum
politisi nasionalis generasi tua dengan para pemuda-pejuang, antara
pangreh-praja dan para “pemberontak” (istilah Bung Tomo), antara petani
dan buruh, pemuda terpelajar dan yang tidak, dan golongan-golongan
lainnya. Semua setuju untuk mempertahankan kota ini. Dengan fanatisme
dan semangat juang “medeka atau mati”, pertempuran berlangsung selama
tiga minggu. Dari sudut militer pertempuran ini liar dan tanpa startegi
yang jelas, yang ada hanya fanatisme dan tahyul (kebal senjata) yang
mendukungnya.
Sementara itu pertempuran Surabaya
membuat Sekutu dan Belanda menyadari keterbatasannya. Belanda yang
sebelumnya melancarkan protes keras terhadap semua diplomasi dengan
republik, akhirnya didesak Inggeris untuk mau berunding. Perundingan
dengan Belanda di dalam republik itu melahirkan polarisasi antara yang
radikal menuntut 100% kemerdekaan dengan pemerintah yang manu berunding
mengingat realita keadaan. Inilah yang menjadi sisi lain dari revolusi
Indonesia dimana penyelesaiannya ada di meja perundingan sampai dengan
KMB 1949.
Hal yang laing yang perlu dicatat, karena
begitu pentingnya makna revolusi bagi eksistensi masyarakat bangsa dan
negara Indonesia, maka jangan sampai revolusi itu dipergunakan oleh
berbagai pihak untu mencari legitimasi atas kedudukan dan perannya di
masa kini dan di masa depan, misalnya dengan mengklaim bahwa pihaknyalah
yang paling berperan atau paling menentukan keberhasilan revolusi
tersebut.
SUMBER : http://serbasejarah.wordpress.com/2012/08/02/memahami-revolusi-indonesia-mitos-dan-realitas/Revolusi Nasional 1945 adalah milik bangsa Indonesia. Diikuti dan disetujui oleh semua lapisan rakyat dan aliran politik yang ada ketika itu. Kita tidak dapat menghilangkan saham (andil) masing-masing ideologi dan partai yang turut-serta. Atau suatu aliran dapat menepuk dada mengakui andilnya lebih besar dari golongan/ aliran lain. Revolusi Nasional milik anak-bangsa, revolusi yang lahir dari kesadaran “bangsa terjajah” mengangkat derajat kehidupan bangsanya. Artinya, semangat-Revolusi 1945 kepunyaan bangsa.
Referensi :
- Revolusi Indonesia : Mitos dan Realitas, Onghokham, Majalah Prisma, Edisi 8 tahun 1985.
- Spektrum Kemerdekaan Indonesia: Sebuah tinjauan selektif . Soegiri DS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar