Aktivis, acapkali kita mendengar dengungan “aktivis kampus”, “aktivis
mahasiswa”, dan sebutan kata aktivis-aktivis lainnya. Bahkan terbiasa
ketika mendengar frasa aktivis. Pernahkah kita bertanya apa hubungan
aktivis mahasiswa dengan kegiatan demonstrasi?. Objek aktivitas seorang
aktivis mahasiswa yang terlihat oleh mahasiswa adalah persoalan
demonstrasi. Melekatnya identitas demonstrasi begitu kuat terhadap
kalangan aktivis mahasiswa. Pada dasarnya, tidak ada yang salah memang,
tetapi sudah sering kita dengar bahwa aktivitas seorang aktivis
mahasiswa tidak lebih dari sekadar bersuara lantang, namun terkadang
anarkis. Dari kita tidak dapat menjustifikasi kesemua mahasiswa dengan
kesan anarkistis, akan tetapi apakah demonstrasi anarkis bisa disebut
sebagai aktivitas cerdas dan intelek bagi mahasiswa?. Berpikir dua kali
untuk mengatakan “iya”.
Dewasa ini, mahasiswa dituntut untuk tidak mengedepankan suara
lantang dan berkobar dihadapan masyarakat. Persoalannya adalah zaman
sekarang bukan mahasiswa angkatan 66 atau angkatan 98. Lantas, apa yang
harus mahasiswa lakukan?. Berdiam diri, meratapi, dan apatis terhadap
masalah bangsa?. Tidak!. Jelas, mahasiswa berperan besar untuk menata
kawah candradimuka persoalan bangsa. Tulisan adalah sarana untuk
mengobarkan suara dengan status aktivis. Idealisme berpacu kepada
tulisan adalah penuangkan cara berpikir bagi suara mahasiswa. Berbekal
tulisan, seorang aktivis mampu menyuarakan pemikiran dengan daya jelajah
intelektualitas.
Seorang intelek yang dapat memberikan ide dalam tindakan nyata
adalah seorang aktivis masa kini. Mereka yang mampu menerjemahkan
pikiran melalui tulisan. Dalam tindakan nyata, seorang aktivis masa kini
adalah penyumbang ilmu pengetahuan melalui goresan tinta. Coba kita
lihat darimana karya-karya besar seorang pemikir seperti Aristoteles,
Plato, hingga Muhammad Hatta sekalipun. Mereka menuangkan segala bentuk
pikiran dan gagasan guna menciptakan pemikiran-pemikiran revolusioner.
Karya mereka hingga kini tetap dalam ruang pemikiran dunia. Terlepas
dari itu, setiap aktivis mempunyai cara pandang berbeda. Bagi kita,
tidak ada salahnya aksi-aksi demo dan turun ke jalan. Mereka semua punya
cara masing-masing untuk mengekspresikan diri sebagai aktivis
mahasiswa. Baik demonstrasi ataupun tulisan merupakan wujud nyata
representasi mahasiswa.
Namun, kita harus berpikir lebih detail dan mendalam jika berbicara
soal demonstrasi. Dengan demikian, cara terbaik adalah menulis.
Sejatinya, mahasiswa harus berjuang untuk menulis. Menulis adalah karya
esensial dan patut. Ketika mahasiswa lebih memilih jalan menulis akan
lebih baik ketimbang bersuara lantang,tetapi tidak didengarkan. Menulis
memang belum tentu satu-satunya jalan untuk didengarkan. Bedanya,
menulis menujukkan kemapanan intelektualitas sebenarnya dari mahasiswa.
Kapasitas ilmu pengetahuan yang diperoleh dapat berguna bagi masyarakat
tentang teriakan mahasiswa.
Suara-suara tulisan akan bergema ketika semakin banyak mahasiswa
mau membuka kesadaran dan kemapanan ruang pemikiran mereka. Sepantasnya,
mahasiswa lebih bangga ketika mereka mampu berpikir kritis untuk
mengolah suara mereka. Pemikiran melalui tulisan mahasiswa akan menjadi
saksi sejarah ketika mahasiswa menulis.
Kekuatan tulisan seharusnya mampu menginspirasi banyak aktivis
untuk belajar menulis. Tidak ada yang salah saat aktivis 98 melakukan
aksi demonstrasi. Kita berpikir bahwasanya tidak akan ada reformasi bila
aktivis 98 tidak menyuarakan aspirasi mereka. Hasilnya, perjuangan
aktivis 98 telah mengantarkan reformasi bagi masyarakat. Dan kita yakin,
peran serta mereka ada kaitannya dengan tulisan sehingga bendera
reformasi dapat dikibarkan. Oleh karena itu, menulis adalah perjuangan
masa kini untuk belajar menjadi aktivis. Menulis untuk memperjuangkan
pemikiran aktivis dalam kekuatan dan kemajuan intelektualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar